Penduduk miskin di Indonesia pada September 2020 menjadi 27,55 juta orang. Peningkatan kemiskinan disebabkan oleh penambahan penduduk yang kehilangan pendapatan. Berbagai program bantuan sosial yang telah digelontorkan pemerintah mampu menghambat lonjakan penduduk miskin. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengangkat lebih banyak penduduk miskin keluar dari garis kemiskinan. Selain itu, bantuan yang diterima penduduk miskin harus bisa mengubah dari sekedar konsumtif menjadi produktif.
Badan Pusat Statistik Kembali merilis tingkat kemiskinan September 2020. Dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang dinyatakan dengan garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Penduduk miskin bertambah 1,13 juta orang dibanding enam bulan sebelumnya. Lonjakan jumlah penduduk miskin tersebut memupus capaian penurunan penduduk miskin satu digit tiga tahun terakhir dan kembali menjadi dua digit menjadi 10,19 persen.
Garis kemiskinan September 2020 sesungguhnya hanya naik 4.295 rupiah menjadi 458.947 rupiah per kapita per bulan atau 2,2 juta rupiah per rumah tangga per bulan. Tetapi, pendapatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 turun drastis. Rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai berkurang dari 2,91 juta rupiah pada Februari 2020 menjadi 2,76 juta rupiah pada Agustus 2020 (BPS, Sakernas Februari dan Agustus 2020).
Bantuan Sosial
Triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk meringankan beban masyarakat khususnya penduduk miskin menghadapi pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir. Implementasi program jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan sembako, bantuan sosial tunai, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, listrik gratis, Kartu Prakerja, subsidi gaji karyawan dan BLT usaha mikro kecil.
Dampak bantuan sosial dalam mengurangi penambahan penduduk miskin di masa pandemi cukup signifikan. World Bank memperkirakan jumlah penduduk miskin pada akhir tahun 2020 bisa saja mencapai 10,6 persen sampai dengan 11,7 persen dari total penduduk Indonesia jika tidak ada bantuan sosial.
Pertanyaannya adalah sampai berapa lama negara sanggup menahan beban anggaran untuk bantuan sosial ini? Realiasasi pendapatan negara pada tahun 2020 sebesar 1.6333,6 triliun rupiah, turun 16,7 persen dibanding pendapatan negara tahun 2019 (Kemenkeu, 2021).
Pelibatan Masyarakat
Mengentaskan kemiskinan bukan hanya kewajiban negara. Negara yang kuat karena padunya pemerintah, pelaku usaha, ilmuan, dan rakyat. Pelibatan tiga komponen selain pemerintah dalam mengatasi kemiskinan terutama di masa pandemi ini sangat dibutuhkan.
Sebagai negara dengan keragaman religi warga negaranya, ada banyak potensi pengumpulan sumber pendanaan dari kegiatan keagamaan untuk mengatasi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan. Potensi zakat menurut Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 230 triliun rupiah. Potensi ini akan bertambah lagi jika memperhitungkan penggalangan dari perpuluhan atau derma dari penganut non muslim. Pada tahun 2018, Charity Aid Foundation (CAF) juga mencatat Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia dengan ukuran World Giving Index dengan capaian skor Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.
Potensi penggalangan dana selain dari kegiatan keagamaan juga bisa diperoleh dari CSR (Corporate Social Responsibilty). Sebagai contoh, tahun 2020 lalu, PT. KAI telah menyalurkan 27 miliar rupiah untuk Bina Lingkungan, Program Kemitraan, dan Community Relations. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merealisasikan penyaluran dana CSR berupa Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL senilai 60 miliar rupiah hingga Agustus 2020. Potensi CSR Indonesia sangat besar. Tahun 2015 saja, potensi ini bisa senilai 12 triliun rupiah.
Artinya, kita memiliki potensi lain yang belum dikerahkan untuk mengatasi kemiskinan yaitu membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengambil bagian dari pengentasan kemiskinan. Bukankah selama pandemi ini, sifat dermawan masyarakat begitu ringan tangan membantu menyediakan kebutuhan makanan dan kebutuhan lain kepada keluarga yang sedang menjalani isolasi mandiri? Besar kemungkinan hal ini bisa diimplementasikan juga untuk membantu penduduk miskin agar bisa keluar dari jebakan kemiskinan dengan cara yang sama yaitu membangun kepedulian warga untuk membantu sesama warga yang sedang kesulitan.
Peran Pemerintah
Besarnya potensi sumber daya yang ada seharusnya bisa dipadukan untuk mengentaskan kemiskinan berbasis partisipasi masyarakat. Pemerintah dapat melakukan peran sebagai penyiapan regulasi terkait sasaran penduduk miskin yang akan dientaskan. Selain itu, pemerintah juga menjadi pengawas jalannya pengentasan kemiskinan oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan pengamanan pelaksanaan program bantuan sosial yang lebih ketat karena peristiwa korupsi dana bansos di masa pandemi amat sangat melukai nurani.
Hal yang tidak kalah penting adalah penyiapan basis data penduduk miskin. Prinsip no one left behind wajib dikedepankan. Selain itu, basis data penduduk miskin harus zero error baik dari inclusion maupun exclusion error. Basis data penduduk miskin ini harus dirawat dan terus dimutakhirkan. Penduduk yang tidak lagi miskin dikeluarkan dari daftar dan penduduk miskin baru dimasukkan ke dalam daftar dengan persetujuan tokoh masyarakat setempat.
Penduduk Miskin Harus Lebih Produktif
Berapapun bantuan sosial untuk penduduk miskin tidak akan berdampak nyata bagi pengentasan kemiskinan jika bantuan sosial itu hanya bersifat konsumtif. Perlu membangun budaya baru agar penduduk miskin lebih produktif.
Agar bisa produktif setidaknya ada dua perilaku yang mesti diubah. Pertama, hilangkan atau kurangi konsumsi yang tidak memberikan nilai tambah bagi penduduk miskin misalnya konsumsi rokok. Konsumsi rokok senantiasa menempati komponen terbesar kedua pembentuk garis kemiskinan makanan.
Kedua, tidak menambah anggota rumah tangga baru. Sampai dengan September 2020, jumlah anggota rumah tangga miskin sebesar empat sampai lima orang. Sachs (2005) dalam bukunya yang mashur, “The End of Poverty” mengungkapkan bahwa besarnya anggota rumah tangga miskin berdampak pada ketidakmampuan penduduk miskin untuk berinvestasi pada nutrisi yang baik, kesehatan dan pendidikan. Jika dibiarkan, hal ini akan menjadikan penduduk miskin terjebak dalam kemiskinan antar generasi.
Pengentasan kemiskinan melalui pengurangan beban pengeluaran penduduk miskin di satu sisi dan peningkatan pendapatan di sisi lainnya melalui bantuan sosial baik dari pemerintah maupun masyarakat belumlah cukup. Perlu komitmen yang kuat dari penduduk miskin itu sendiri untuk berubah. Kurangi pengeluaran konsumsi yang tidak perlu dan kurangi jumlah anggota rumah tangga miskin dengan keluarga berencana.