Besok, 1 April 2017, adalah hari pertama pelaksanaan Survei Struktur Ongkos Usaha Tani disingkat SOUT tahun 2017 termasuk di Provinsi Papua Barat. Survei serupa pernah dilaksanakan tahun 2014 selepas pelaksanaan Sensus Pertanian tahun 2013. Mengapa Survei SOUT 2017 ini dilaksanakan? Setidaknya ada tiga tujuan SOUT 2017 yaitu: (1) Memperbaharui data mengenai struktur ongkos rumah tangga usaha tanaman pangan dan peternakan di Indonesia; (2) Memperbaharui data mengenai profil pengusahaan tanaman pangan dan peternakan; dan (3) Memperbaharui data mengenai keadaan sosial ekonomi rumah tangga usaha tanaman pangan dan peternakan.
Saya ingin mengajak pembaca menapaktilasi Struktur Ongkos Usaha Tani hasil Survei tahun 2014 lalu. Salah satu komoditas yang disurvei adalah komoditas padi yang pada SOUT 2017 kali ini juga menjadi target. Mengapa komoditas ini yang dipilih untuk dibahas? Karena, padi yang setelah diolah menjadi beras dan setelah dimasak menjadi nasi itu adalah makanan pokok orang Indonesia. Istilah kata, biar pagi makan roti tetapi jika belum makan nasi berasa belum sarapan.
Kembali ke pokok bahasan, bahwa salah satu output SOUT adalah dapat mendeskripsikan profil pengusahaan tanaman pangan dan peternakan. Untuk itu, postingan kali ini mengulas pofil rumah tangga yang mengusahakan padi hasil Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Padi Tahun 2014.
Pertanian adalah sektor yang perlahan tapi pasti ditinggalkan oleh tenaga kerja di Papua Barat. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2016 mencatat bahwa dari 402 ribu tenaga kerja di Papua Barat, mereka yang bekerja di sektor pertanian tersisa 148 ribu atau 36,95 persen. Padahal, setahun sebelumnya, tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian masih 42,42 persen (BPS, Sakernas Agustus 2015).
Mundur ke tahun 2014, berdasarkan hasil Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Padi 2014, lebih dari separuh petani padi di Papua Barat berusia separuh abad atau lebih. Hanya 3,95 persen petani padi yang berusia muda (kurang dari 30 tahun). Artinya, bertani padi “kurang” diminati kamu muda. Selain itu, 38,40 persen petani padi di Papua Barat tamat SD dan 32,74 persen belum pernah mengecap bangku sekolah. Artinya, 71 persen petani padi di Papua Barat berpendidikan rendah. Hanya 1,98 persen petani padi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi minimal Diploma I. Dengan kata lain, petani padi di Papua Barat tergambarkan sebagai sekumpulan orang paruh baya dengan pendidikan rendah.
Tahukah pembaca, dalam satu musim tanam padi, petani padi di Papua Barat pada tahun 2014 membutuhkan biaya produksi sebesar 10,6 juta rupiah. Dari total biaya produksi tersebut, 61 persennya untuk membayar upah pekerja dan jasa pertanian. Jika dirupiahkan mencapai 6,5 juta rupiah yang dikeluarkan petani padi untuk membayar upah pekerja dan jasa pertanian. Selain itu, pengeluaran untuk pupuk menghabiskan 1,2 juta rupiah per satu hektar tanaman padi atau menghabiskan 11,28 persen dari total biaya produksi tanaman padi.
Lalu, berapa nilai produksi tanaman padi? Untuk satu hektar tanaman padi menghasilkan nilai produksi sebesar 15,1 juta rupiah. Artinya, pendapatan bersih petani padi di Papua Barat untuk satu musim tanam hanya 4,5 juta rupiah. Cukupkah? Masih mengacu pada hasil Survei Rumah Tangga Tanaman Padi 2014, mayoritas petani padi di Papua Barat mengeluhkan bahwa penghasilan sebesar itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Mau bukti?
Satu musim tanam padi membutuhkan waktu tiga bulan sejak masa tanam ditambah 21 hari masa persemaian. Jadi lamanya masa tanam itu keseluruhan kurang lebih 4 bulan masa pengolahan. Artinya, pendapatan petani padi di Papua Barat sebesar 1,125 juta rupiah per bulan. Jika satu rumah tangga petani padi berisi 4 anggota rumah tangga, maka pendapatan 4,5 juta rupiah selama satu musim tanam padi tersebut senilai dengan pendapatan 281.250 rupiah per kapita per bulan. Di sisi lain, garis kemiskinan di pedesaan di Papua Barat di mana banyak petani di dalamnya pada Maret 2014 tercatat sebesar 389.812 rupiah per kapita per bulan. Itu artinya, pendapatan petani padi dengan 4 anggota rumah tangga yang mengusahakan satu hektar tanaman padi masih di bawah garis kemiskinan. Jadi, apa yang dikeluhkan petani pada pada Survei Rumah Tangga Tanaman Padi tahun 2014 lalu benar adanya.
Apakah pemerintah berdiam diri dengan kondisi tersebut? tentu tidak. Petani padi di Papua Barat menerima bantuan berupa bibit, pupuk dan pestisida. Ketiga jenis bantuan inilah yang paling dominan selain bantuan alat pertanian. Selain itu, petani padi di Papua Barat juga mendapatkan penyuluhan berupa budidaya (94,52 persen), pengendalian hama (88,51 persen) dan penurunan hasil pertanian (39,20 persen). Sayangnya, hanya 10,37 persen petani pada di Papua Barat yang mendapatkan penyuluhan pemasaran hasil panen padi dan hanya 2,60 persen yang mendapatkan penyuluhan pembiayaan. Karena itu, tidak mengherankan ketika penulis mendapati petani padi di daerah trans (Manimeri) di Kabupaten Teluk Bintuni yang menumpuk hasil panen raya padi pada tahun itu dan kebingungan memasarkan hasil panen raya padinya itu.
Itulah sekelumit kisah petani padi yang terungkap dari Survei Rumah Tangga Tanaman Padi tahun 2014 yang salah satu outputnya berupa struktur ongkos usaha tanaman padi dan profil petani padi serta permasalahan budiday tanaman padi di Papua Barat.