Angka kemiskinan merupakan salah satu data strategis yang di-publish oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Disebut strategis karena berapapun angka kemiskinan yang dirilis pasti mengundang pro dan kontra. Bukan masalah pro dan kontranya yang menjadi fokus perhatian penulis dalam memuat posting bertema kemiskinan. Penulis ingin mengajak pembaca menelusuri lebih dalam apa yang bisa kita pelajari dari metode penghitungan penduduk miskin BPS.
Sebelum mengulas lebih banyak metode penghitungan penduduk miskin BPS, ada baiknya kita kenali dulu kebutuhan manusia. Salah satu teorema penting yang mengungkapkan kebutuhan manusia adalah Maslow Theory (Maslow’s Hierarchy of Needs) sebagaimana terlihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Maslow’s Hierarchy of Needs
Sebelum memutuskan menggunakan metode penghitungan penduduk miskin ada baiknya kita menetapkan pada ranah mana dari kebutuhan Maslow yang akan diukur. BKKBN misalnya, mengelompokkan lima perkembangan keluarga, yaitu keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera 1, keluarga sejahtera 2, keluarga sejahtera 3 dan keluarga sejahtera 3 plus. (Silakan merefer pada file berikut untuk detil indikator masing-masing perkembangan keluarga menurut BKKBN). Selanjutnya, BKKBN mengelompokkan keluarga Pra sejahtera dan Keluarga Sejahtera I sebagai keluarga miskin. Secara tidak langsung, BKKBN memasukkan unsur Self – Actuating dari Maslow’s Hierarchy of Needs sebagai indikator penting dalam menentukan keluarga miskin.
Berbeda dengan BKKBN, BPS hanya mengukur penduduk miskin pada ranah kebutuhan dasar saja.Informasi selengkapnya dari metode penghitungan penduduk miskin BPS bisa dibaca pada referensi berikut.
Logikanya, angka kemiskinan BPS akan selalu lebih kecil daripada angka kemiskinan yang dilansir BKKBN. Dalam hal cakupan saja, BPS hanya mengukur kemiskinan dari kebutuhan dasar sementara BKKBN sudah memasukkan unsur lain di luar kebutuhan dasar. Ringkasnya, angka kemiskinan yang dipublish BPS ibarat Gunung Es di Samudra. Perlu menambahkan unsur kebutuhan selain kebutuhan dasar untuk melihat kemiskinan secara lebih luas lagi. Jadi, menyelamatkan penduduk miskin lebih baik daripada sekedar mempersoalkan jumlah penduduk miskin. Kalau dengan penduduk miskin yang sedikit saja belum teratasi bagaimana bisa mengatasi penduduk miskin yang lebih besar lagi.