Mencermati angka-angka yang dipublis BPS cukup menarik. Setiap bulannya, BPS senantiasa memberi informasi pada kita tentang indikator ekonomi bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, indeks harga konsumen dan lain-lain. Bagi masyarakat awam, apa artinya angka-angka itu? Lain halnya bagi pelaku ekonomi, angka-angka itu penuh makna. Apatah lagi bagi politikus khususnya bagi pihak oposisi. Semua data BPS difitnah “pesanan pemerintah,” benarkah?
Bagaimanapun juga, angka-angka yang dipublis BPS tentunya bukan dari hasil sensus melainkan dari sejumlah sampel. Serepresentatif apapun data yang terpilih pasti ada tingkat kesalahan yang masih bisa ditolelir. Tapi, bukan itu yang akan dibahas di sini. Kita akan mencoba memaknai angka BPS khususnya angka inflasi dan indeks harga konsumen.
Ada seorang pedagang di tahun 2006 bangkrut. Penyebabnya adalah dengan modal terbatas, dia harus berjuang melawan keganasan fluktuasi harga. Hari ini belanja sekian kemudian dijual dengan harga sesuai perhitungan. Saat belanja lagi, ternyata modal kemarin dan keuntungan yang didapat tidak menutup belanja modal hari berikutnya. Koq bisa?
Meskipun setiap bulan inflasi diberitakan, untuk pedagang kecil seperti pedagang tadi tidak memberikan informasi untuk pengambilan langkah apa yang harus diambil tuk bertahan. Seandainya pedagang kecil sudah melek data, mungkin kebangkrutan bisa dihindari paling tidak bisa dibuat lebih lama survivalnya.
Tahukah Anda sejak 2002 kita telah mengalami kenaikan harga 147 persen. Apa artinya? Artinya, pegawai negeri yang telah mengalami kenaikan gaji 45 persen tidak bisa mengatasi masalah kenaikan harga-harga secara umum. Siapa yang untung? Tentunya mereka yang gajinya selalu disesuaikan setiap kali inflasi diumumkan. Bagaimana efek untuk masyarakat yang tidak punya penghasilan tetap? Dampaknya akan semakin banyak di indonesia yang mengais-ngais rejeki sisa-sisa di bak sampah hanya untuk bertahan hidup?
Secara nasional, kita telah mengalami gejolak kenaikan harga-harga. Kita ingat 1997/1998? Saat itu harga-harga begitu menggila. Rakyat miskin bertambah. Kenaikan BBM tahun 2005 akibat kenaikan harga minyak dunia juga menjadi momen penting. Bahkan pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi akibat kenaikan BBM ini.
Lalu apa yang isa dilakukan? Antisipasi dengan tabungan yang resisten terhadap kenaikan harga-harga menjadi penting. Beberapa masyarakat yang mempunyai tabungan mas bisa selamat dari krismon bahkan mereka meraih keuntungan besar saat kebanyakan orang kesusahan.
Itu baru angka inflasi, bagaimana dengan informasi lain seperti angka pengangguran, angka putus sekolah, angka kemiskinan? Sebagai masyarakat sebenarnya ada manfaat dari data itu. Paling tidak ada bukti tertulis bahwa di sekitar kita banyak yang membutuhkan. Tidak harus berbentuk materi. Kesempatan untuk bisa bertahan hidup dan keluar dari kemiskinan itu yang dibutuhkan. Bukankah yang selama ini “care” terhadap orang-orang miskin adalah “Bank Ling” alias Bank keliling. Minjam tanpa agunan dengan bunga nyekek? Kalau begini cara bangsa ini mengatasi masalah masyarakat, kita tunggu aja yang miskin pasti nambah banyak. Kalau ingin masyarakat miskin diturunkan jumlahnya, turunkan aja angka garis kemiskinannya pasti pemerintah dibilang sukses menurunkan angka kemiskinan tanpa kerja nyata. Ya nggak?